Fenomena Resesi Seks dan Urgensi Sakramen Perkawinan

Didimus A. Satrio
Didimus A. Satrio

Mahasiswa STIPAS Keuskupan Agung Kupang ( Semester V )

       Pertama-tama, tulisan ini ditujukan kepada semua umat katolik dalam menyikapi isu ‘resesi seks’. Namun, tulisan ini juga ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia sebagai bahan edukasi akan isu ‘resesi seks’ yang sedang berlangsung di negara-negara maju dan mungkin akan berlangsung di Indonesia.

        Perkawinan dalam Gereja Katolik disebut sebagai Sakramen Perkawinan. Sakramen Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta kasih suami istri yang diteguhkan oleh perjanjian atau persetujuan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali untuk membentuk keluarga kristiani. Sebagai sakramen, perkawinan menghadirkan misteri Allah dan mengungkapkan iman akan Allah yang mengasihi. “Para suami-istri dengan Sakramen Perkawinan menandakan misteri kesatuan dan cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja” (Lumen Gentium art. 11). Dalam kitab Kejadian 2:24 tertulis: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging”. Dengan demikian hidup perkawinan dipandang sebagai kesatuan yang erat dalam seluruh hidup antara seorang laki-laki dan perempuan. Dalam Injil Matius 19:6, Yesus menegaskan kesatuan antara suami dan istri dalam perkawinan dengan konsekuensi larangan untuk bercerai.

       Pengertian perkawinan di atas bermuara pada terbentuknya satu instansi kehidupan yaitu keluarga. Keluarga juga dimengerti sebagai tujuan dari Sakramen Perkawinan itu sendiri. Konsili Vatikan II melalui Dokumen Gaudium et Spes art. 50 menyatakan bahwa keluarga dari kodratnya diarahkan untuk mengadakan dan memelihara keturunan. Anak-anak adalah anugerah nikah yang paling utama dan sangat membantu kebahagiaan orang tua. Keluarga menjadi semacam sekolah kemanusiaan yang lebih kaya. Kehidupan dan perutusan keluarga dituntut untuk mencapai kepenuhan dengan Allah, dituntut komunikasi batin yang baik, pertimbangan-pertimbangan dalam rumah tangga dibuat secara bersama oleh suami dan istri dan kerja sama orang tua yang ikhlas dalam pendidikan anak. (Gaudium et Spes art. 52)

      Sakramen Perkawinan yang dijelaskan di atas memiliki urgensi, yaitu membangun generasi dan kehidupan baru. Penulis berpendapat bahwa keberlangsungan generasi dan kehidupan baru merupakan hal yang penting untuk diperhatikan oleh manusia itu sendiri. Keberlangsungan ciptaan sejatinya telah dilimpahkan oleh Allah kepada manusia. Taurat Allah dalam kitab Kejadian 1:28 telah melegitimasi urgensi Sakramen Perkawinan di atas. Perkawinan tidak dipandang sebagai sebuah proses rekreasi melainkan sebagai proses prokreasi demi kelanjutan generasi dan kehidupan.

       Berhadapan dengan urgensi Sakramen Perkawinan di atas, pada tahun 2018 seorang editor jurnal The Atlantic asal Amerika Serikat (AS) Kate Julian, menuliskan tentang ‘resesi seks’ di AS. Julian membeberkan kekhawatiran bahwa remaja dan dewasa di AS melakukan seks lebih sedikit ketimbang generasi sebelumnya. Ia merujuk pada data Survei Perilaku Risiko Remaja yang dilakukan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS. Berdasarkan survei itu, presentasi murid SMP dan SMA yang melakukan hubungan seksual di negara itu berkurang dari 54% ke 40% sejak 1991 sampai 2017. Julian juga melaporkan jumlah warga AS berusia 18 hingga 29 tahun yang tidak melakukan seks sejak 2008 hingga 2018 meningkat dua kali lipat. Selanjutnya, Julian menjelaskan bahwa salah satu penyebab ‘resesi seks’ ini adalah beberapa orang tidak merasa harus melakukan seks jika mereka tidak menginginkannya. Selain itu, Julian mengakui bahwa mungkin beberapa orang lebih mengutamakan sekolah dan pekerjaan, ketimbang cinta dan seks.(baca : CNN Indonesia, edisi : Selasa, 23 Agustus 2022).

      Momok ‘resesi seks’ kini mulai mengancam sejumlah negara, khususnya di negara-negara Asia, seperti Korea Selatan, China, Jepang dan Thailand. Mengutip AP News, berdasarkan data pemerintah Korsel, tercatat tingkat kesuburan perkawinan 0,81% pada 2021. Idealnya, satu negara harus memiliki tingkat kesuburan perkawinan, yaitu 2,1% untuk menjaga populasi. Selanjutnya, dalam pemberitaan media resmi China, Global Times, Biro Statistik Nasional China, mengumumkan bahwa tingkat kelahiran di China pada tahun 2020 tercatat 8,52% per 1.000 orang. Fenomena ‘resesi sex’ juga terjadi di Jepang dan Thailand. Mengutip laporan Institut Nasional Kependudukan dan Jaminan Sosial Jepang, ditemukan bahwa 17,3% pria dan 14,6% wanita berusia antara 18 dan 34 tahun di Jepang mengatakan, bahwa mereka tidak berniat untuk menikah, sedangkan di Thailand, pada tahun 2022 tercatat 544.000 kelahiran, di mana angka tersebut merupakan angka kelahiran terendah selama enam dekade, dikutip dari The Straits Times. (baca : CNBC Indonesia, edisi : 28 Januari 2023).

      Urgensi Sakramen Perkawinan dan realitas ‘resesi seks’ di atas hendak memperlihatkan sebuah konsep teoretis perkawinan yang sangat kontras dengan kenyataan perkawinan itu sendiri. Di hadapan ‘resesi seks’, menurut hemat penulis, perkawinan adalah sebuah praktik yang merugikan, secara khusus dalam aspek ekonomi jika ekonomi mengalami resesi. Perkawinan dianggap dapat menyebabkan pengeluaran biaya hidup yang cukup besar. Di lain sisi, perkawinan dianggap mengganggu stabilitas karya-karya hidup seseorang. Fenomena ‘resesi seks’ membawa satu bentuk kehidupan yang lebih bebas dan bentuk kehidupan yang individualistis di mana proses pengontrolan dinamika hidup hanya berpusat pada diri sendiri. Fenomena ini juga memungkinkan sebuah keluarga enggan bereproduksi demi keberlangsungan keturunan.

      Sakramen Perkawinan dan urgensinya tentu menolak fenomena ‘resesi seks’. Menurut hemat penulis, penekanan Sakramen Perkawinan sangat jelas : perkawinan bertujuan membentuk keluarga, mengadakan keturunan dan mendidik anak. Tujuan Sakramen Perkawinan tersebut merupakan tujuan mulia yang ditentukan oleh Allah sendiri. Manusia dipanggil untuk melanjutkan karya ciptaan. Manusia dituntut untuk mencipta. (bdk. Kejadian 1:28). Panggilan khas manusia itu mesti direalisasikan sebagaimana mestinya meskipun pertimbangan-pertimbangan ekonomi, sosial dan politik terus berseliweran. Pertimbangan-pertimbangan tidak menjadi alasan bagi manusia untuk berhenti dan melanjutkan generasi.

      Pada Akhirnya, penulis berpendapat, bahwa Allah telah menetapkan strategi penyelamatannya melalui salah satu tanda dan sarana keselamatan yaitu Sakramen Perkawinan. Sakramen Perkawinan telah menjadi medan perjumpaan Allah dan manusia dan juga menjadi bejana rahmat yang menghasilkan keselamatan. Di hadapan itu semua, manusia mesti membuka diri dan hati untuk menerima maksud penyelamatan Allah tersebut. Fenomena ‘resesi seks’ adalah sebuah realita yang menandakan penolakan terhadap rencana keselamatan dari Allah. Perkawinan adalah rencana keselamatan dari Allah yang di dalamnya terdapat hadiah yang membahagiakan, yaitu keturunan (anak). Perkawinan bukanlah sebuah praktik rekreasi, bukanlah praktik yang membebankan apalagi merugikan. Perkawinan adalah praktik yang mulia menuju kepenuhan bersama Allah.

 Editor : Revan Uky

Scroll to Top